Senin, 12 Mei 2025

Ironi Negeri Agraris: Bagaimana sih Indonesia Masih Bergantung pada Pangan Impor ?

Musim panen tiba, hasil panen yang berlimpah, namun wajah-wajah petani di pedesaan Indonesia justru menjadi tampak Popo murung. Bukan karena perihal gagal panen, tapi karena hasil keringat mereka tidak sebanding dengan harga jual di pasar. Nyatanya memang, di negeri yang di anggap sebagai "lumbung pangan dunia", petani justru jadi pihak yang paling merugi dan dirugikan.

Indonesia adalah negara dengan kekayaan agraria yang luar biasa. Dengan lebih dari 55 juta hektar lahan pertanian (Kementrian Pertanian, 2023), semestinya negara tidak perlu lagi khawatir soal ketersediaan pangan. Akan tetapi kenyataannya, kita masih harus mengimpor berbagai bahan pangan pokok, mulai dari beras, kedelai, gula, tak luput bawang putih.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2023, Indonesia mengimpor lebih dari 2,8 juta ton beras, yang sebagian besar masuk pada akhir tahun. (BPS, 2023) Sementara itu, sekitar 70 persen kebutuhan kedelai nasional masih dipenuhi dari impor, terutama dari Amerika Serikat. (Badan Pangan Nasional, 2024). Ketergantungan semacam ini menandakan lemahnya fondasi kedaulatan pangan kita, sekaligus menyiratkan risiko besar ketika terjadi gejolak harga di pasar internasional. Pertanyaannya dimana petani kita ?

Alih-alih memaksimalkan potensi domestik, respons negara terhadap krisis pangan seringkali bersifat reaktif, seperti membuka keran impor ketika harga beras melonjak (INDEF, 2024). Sayangnya, kebijakan seperti ini tidak hanya tidak menyelesaikan masalah struktural, tapi justru memperparah kondisi petani lokal. Ketika pasar dibanjiri produk impor, harga gabah lokal jatuh dan petani kesulitan mendapatkan keuntungan yang layak. Akibatnya, mereka kehilangan motivasi untuk bertani dan banyak yang memilih berpindah profesi.

Fenomena ini terlihat jelas di daerah-daerah sentra produksi padi seperti di Jambi, di mana sebagian besar petani menghadapi tekanan biaya produksi yang tinggi akibat naiknya harga pupuk dan pestisida (Jambi Ekspres, 2024). Sayangnya, insentif dari pemerintah dalam bentuk subsidi atau perlindungan harga tidak selalu hadir tepat waktu atau tepat sasaran (Kementrian Pertanian, 2023). Distribusi pupuk bersubsidi masih kerap tidak merata, dan banyak petani kecil yang tidak terdaftar dalam sistem resmi tidak bisa mengakses bantuan tersebut.

Badan Pangan Nasional melaporkan bahwa hanya 30 % petani di Indonesia yang tergolong sejahtera, selebihnya hidup dalam katagori rawan miskin (Badan Pangan Nasional, 2024). Salah satu perkara utama adalah harga jual yang tidak sebanding dengan biaya produksi. Benih, Pupuk, dan pestisida semakin meroket tinggi, sementara subsidi makin merosot. Pemerintah memang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET), tapi implementasinya sering kali tidak konsisten.

Namun, persoalan pangan nasional tidak bisa hanya dilihat dari sisi petani. Masalah mendasar lainnya ada pada tata kelola distribusi, logistik, dan penyimpanan hasil panen. Banyak hasil panen rusak karena tidak adanya sistem pascapanen yang memadai. Di sisi lain, rantai distribusi yang panjang menyebabkan harga pangan melonjak di tingkat konsumen, meski petani mendapat harga rendah di tingkat produsen (Badan Pangan Nasional, 2024). Ketimpangan ini menunjukkan adanya asimetri dalam penguasaan pasar dan lemahnya peran negara dalam mengintervensi sistem niaga pangan.

Sayangnya, program-program seperti Food Estate yang seharusnya menjadi jawaban terhadap krisis produksi, belum menunjukkan hasil signifikan (WALHI, 2023). Selain karena banyak dari lahan yang dibuka merupakan ekosistem sensitif seperti hutan dan gambut, pendekatan top-down dalam pelaksanaan program ini kerap tidak melibatkan petani lokal secara aktif. Padahal, kunci keberhasilan produksi pangan adalah penguatan kelembagaan petani dan kemandirian lokal, bukan hanya ekspansi lahan besar-besaran. Lalu Food Estate itu Solusi atau Masalah Baru ?

Agar tidak terus terjebak dalam siklus ketergantungan dan kegagalan kebijakan, Indonesia perlu membangun ulang sistem pangan dengan pendekatan yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan.

Banyak orang menilai ini, pembangunan pertanian seharusnya tidak sekedar soal ekperimen lahan, tetapi juga perbaikan sistem distribusi, peningkatan SDM pertanian, dan akses pasar bagi petani-petani kecil. Menatap Masa Depan: Solusi Nyata. Lalu, Bagaimana jalan kabur dari keruwetan ini ?.

Pertama, kebijakan pangan harus berpihak pada produsen, yaitu petani. Ini berarti pemerintah perlu menjamin harga dasar hasil pertanian yang layak, memperbaiki tata niaga agar lebih adil, serta memastikan distribusi subsidi dan insentif yang transparan dan merata. Teknologi pertanian dan sistem informasi seperti e-RDKK harus diperluas cakupannya agar petani kecil bisa terdata dan mendapatkan akses terhadap program-program pemerintah.

Kedua, reformasi agraria yang nyata perlu dijalankan, dengan redistribusi lahan secara adil kepada petani gurem dan penguatan koperasi tani sebagai aktor utama dalam rantai pasok pangan. Koperasi berbasis desa bisa berperan dalam mengelola gudang, memproses hasil panen, dan menyalurkan produk langsung ke pasar atau konsumen melalui sistem digital.

Ketiga, pemerintah harus mengembangkan sistem cadangan pangan nasional berbasis daerah, tidak terpusat di Jakarta atau Jawa. Hal ini akan memperkuat ketahanan lokal dan mengurangi ketergantungan pada logistik skala besar yang mahal dan tidak efisien.

Terakhir, regenerasi petani adalah isu yang tak kalah penting. Perlu ada insentif bagi generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian melalui pelatihan teknis, akses lahan, dan dukungan modal. Pertanian masa depan bukan hanya soal cangkul dan sawah, tetapi juga tentang teknologi digital, pasar daring, dan inovasi produk pangan berbasis lokal (IPB University, 2024).

Kebijakan pangan harus berpihak pada produsen (petani), Alih-alih hanya mengandalkan mekanisme subsidi atau jaminan harga dari pemerintah, pendekatan berbasis kontrak farming (kemitraan pertanian) antara petani dan pelaku industri pangan dapat menjadi solusi yang lebih berkelanjutan. Dalam sistem ini, petani mendapatkan kepastian pasar dan harga sebelum masa tanam, sementara perusahaan menjamin pembelian dengan standar mutu tertentu. Pemerintah cukup hadir sebagai pengawas dan fasilitator agar relasi tetap adil.

Reformasi agraria dan penguatan koperasi tani, Selain reformasi struktural, pendekatan agroekologi komunitas bisa menjadi solusi yang lebih relevan dengan konteks lokal. Dengan mendorong praktik pertanian berkelanjutan berbasis kearifan lokal, petani bisa lebih mandiri dari segi benih, pupuk, dan teknologi. Pemerintah dapat menginisiasi pusat pelatihan agroekologi desa dan menyinergikan koperasi tani dengan LSM atau perguruan tinggi untuk pendampingan teknis dan pemasaran.

Pengembangan cadangan pangan nasional berbasis daerah, Selain membangun lumbung pangan fisik di daerah, bisa dikembangkan sistem "bank pangan digital" yang berbasis aplikasi. Melalui teknologi ini, surplus hasil panen bisa didaftarkan dan disimpan di gudang lokal dengan sistem kepemilikan digital (token pangan). Saat harga naik atau bencana terjadi, cadangan ini bisa ditarik secara real-time oleh pemerintah daerah atau koperasi. Sistem ini transparan, berbasis data, dan mampu merespons krisis lebih cepat.

Regenerasi petani melalui insentif generasi muda, Selain insentif finansial dan pelatihan, bisa diterapkan model "pertanian sebagai inkubator wirausaha". Anak muda tidak hanya dilatih menjadi petani, tetapi juga sebagai agropreneur (pengusaha pertanian). Dengan dukungan modal ventura pertanian atau crowdfunding komunitas, mereka dapat membangun usaha berbasis pangan dari urban farming, pengolahan hasil pertanian, hingga platform digital. Pemerintah tinggal memfasilitasi legalitas, pelatihan, dan jaringan.

Pangan adalah soal martabat bangsa. Ketika sebuah negara tidak mampu memberi makan rakyatnya dari hasil bumi sendiri, maka kedaulatan sejatinya sedang digadaikan. Kita butuh langkah berani dan sistemik untuk membenahi struktur pangan nasional bukan sekadar menenangkan pasar dengan impor atau proyek sesaat.

Saatnya Indonesia kembali pada jati dirinya: membangun dari desa, menguatkan petani, dan memutus ketergantungan terhadap pasar luar. Dengan fondasi yang tepat, kemandirian pangan bukan sekadar mimpi, melainkan jalan masa depan. Upaya seperti pertanian presisi (prescision farming) dan integrasi data petani melalui teknologi digital, misalnya aplikasi e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) sudah mulai di implikasikan di beberapa daerah. Namun tetap masih skala terbatas.

Solusi alternatif yang dapat diterapkan mencakup mendorong produksi pangan lokal melalui pemanfaatan benih unggul dan pemasaran berbasis koperasi, meningkatkan produktivitas pertanian dengan adopsi teknologi modern dan pelatihan digital bagi petani, memperkuat infrastruktur seperti irigasi, gudang, dan jalan tani untuk kelancaran distribusi hasil panen, serta mengembangkan pertanian berbasis potensi lokal dengan pendekatan terintegrasi dan dukungan pemerintah daerah sesuai karakteristik wilayah masing-masing.

Pangan bukan hanya soal perut manusia, tetapi juga soal kedaulatan negara. Jika ingin benar-benar merdeka, maka Indonesia harus mampu meberikan makan rakyatnya sendiri bukan diberi makan dari hasil negara lain, dengan hasil dari keringat dan tangan petani sendiri. Jangan sampai slogan "Negeri Agraris" hanya jadi cerita di buku cetak pelajaran, sementara petani terus menerus menderita dan kita memakan hasil sawah negara lain.

Saatnya Indonesia kembali pada jati dirinya: membangun dari desa, menguatkan petani, dan memutus ketergantungan terhadap pasar luar. Dengan fondasi yang tepat, kemandirian pangan bukan sekadar mimpi, melainkan jalan masa depan.

Sumber Informasi

Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Statistik Pertanian Indonesia 2023, Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2023.

Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia: Impor Beras Tahun 2023. Di akses dari: https://www.bps.go.id

Jambi Ekspres. Wawancara Petani Jambi: Harga Gabah Rendah, Petani Tercekik Biaya Produksi, 2024. Di akses dari: https//jambiekspres.disway.id

WALHI. Kritik terhadap Program Food Estate dan Dampaknya terhadap Lingkungan, Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2023.

Arief Daryanto. Webinar Nasional: Masa Depan Agrabisnis Indonesia di era Digital, diselenggarakan oleh IPB University dan Kementerian Pertanian, 2024.

Badan Pangan Nasional. (2024). Laporan Tahunan Ketersediaan dan Stabilitas Pangan Nasional. Jakarta: Bapanas. Badan Pangan Nasional. (2024). Laporan Tahunan Ketersediaan dan Stabilitas Pangan Nasional. Jakarta: Bapanas.

INDEF. (2024). Policy Brief: Ketahanan Pangan dan Tantangan Impor Beras. Jakarta.