Rabu, 14 Mei 2025

PEMUDA MELEK POLITIK, DEMOKRASI INDONESIA LEBIH SEHAT

Marwiyah
Badko jambi

Di tengah hiruk-pikuk pemilu dan dinamika politik nasional, satu fakta yang sering luput dari sorotan adalah besarnya kekuatan pemuda dalam membentuk masa depan demokrasi Indonesia. Generasi milenial dan Z bukan hanya mewarnai ruang media sosial, tetapi juga mendominasi jumlah pemilih aktif dalam setiap kontestasi politik. Ironisnya, meski secara jumlah sangat signifikan, peran substantif mereka dalam proses politik masih jauh dari ideal. Keterlibatan politik pemuda kerap bersifat reaktif, simbolik, bahkan apatis. Padahal, dalam sejarah pergerakan bangsa, pemuda selalu menjadi lokomotif perubahan. Pertanyaannya kini, bagaimana memastikan generasi muda tidak hanya hadir sebagai penonton demokrasi, tapi menjadi pemain aktif yang sadar, kritis, dan konstruktif? 

Indonesia sebagai Negera demokrasi terbesar ketiga di dunia memiliki kekuatan utama yang seiring luput dimanfaatkan secara optimal oleh generasi mudanya. Menurut data Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa lebih dari 52 persen dari total pemilih Pada PEMILU 2024 berasal dari kalangan dengan usia muda dan geb Z (Badan Pusat Statistik, 2023). Ini diartikan arah politik nasional sesungguhnya banyak ditentukan oleh keberpihakan dan partisipasi Generasi Muda.
Namun sayangnya, keterlibatan pemuda dalam dunia politik masih tergolong dangkal. Kebanyakan dari mereka hanya sekedar menjadi konsumen informasi politik, bukan pelaku politik. Tren kampanye politik yang cendrung populasi, penuh gimmick digital, hingga banjir hoaks di media sosial, kerap membuat pemuda terjebak dalam euforia PEMILU tanpa pemahaman mendalam. Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa hanya sekitar 35 persen anak muda yang benar-benar memahami isu-isu kebijakan publik dan partai politik secara kritis (Indikator Politik Indonesia, 2023) 

Fenomena ini berbahaya jika dibiarkan. Pemuda yang pasif atau apatis terhadap politik berisiko menjadikan demokrasi sebatas prosedur lima tahunan tanpa substansi. Lebih jauh, dominasi elite politik yang tidak terkontrol bisa menghalalkan politik oligarki yang justru menjauhkan demokrasi dari nilai keadilan sosial dan representasi rakyat.
Kondisi ini terjadi bukan tanpa sebab. Sistem pendidikan kita belum banyak memberikan ruang bagi pendidikan kewenagaraan yang kritis dan partisipasif. Di sekolah, pelajaran PPKN lebih fokus pada hafalan pasal-pasal ketimbang dialog tentang realistis sosial dan politik sehari-hari (Budiardjo, 2008). Di luar itu, akses pemuda terhadap kanal politik masih terbatas. Banyak partai belum memberikan ruang strategis bagi kader muda dalam pengambilan keputusan. 

Meskipun begitu, tidak semua gelap. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai gerakan sosial dan politik yang digagas oleh anak muda. Mulai dari gerakan iklim, advukasi HAM, hingga pemantauan PEMILU independen. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwasanya pemuda memiliki semangat perubahan, hanya saja belum terwadahi sistemik.
Disinilah peluang muncul, jika diberikan ruang dan fasilitas yang tepat. Pemuda bisa menjadi agen utama dalam memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia. Mereka bukan hanya pemilih, tapi juga pendidik politik sebaya, inovator kebijakan, dan penjaga moral publik. 

Negara perlu mendorong pendidikan politik yang kontekstual dan partisipatif sejak tingkat Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi. Pendidikan ini bukan sekedar teori demokrasi, tapi juga praktik langsung seperti simulasi PEMILU, debat kebijakan, hingga keterlibatan dalam forum musyawarah desa atau RT/RW. 

Lalu perlu juga dibuka akses pemuda terhadap struktur politik formal. Partai politik harus lebih terbuka pada rekrutmen kader muda dan menyediakan kuota kepemimpinan strategis di internal partai. Ini penting agar regenerasi politik tidak hanya menjadi jargon. 

Pemuda harus didukung untuk membangun ekosistem politik alternatif di luar jalur formal, seperti media sosial, kanal edukasi digital, dan forum komunikasi. Dengan begitu, mereka bisa mengembangkan narasi politik yang lebih segar, jujur, dan berakar, pada isu-isu lokal yang relevan.
Alternatif lain bisa dibentuk Forum Politik Pemuda Sekolah di setiap kabupaten atau kota sebagai wadah pelatihan, diskusi, dan advokasi isu publik. Ini akan mempertemukan pelajar dan mahasiswa lintas sekolah, memperkuat budaya politik deliberatif. Program pelatihan bagi anak muda untuk menjadi content creator yang menyebarkan literasi politik berbasis data, bukan emosi. Program ini bisa dijalankan oleh Bawaslu, KPU, atau organisasi kepemudaan.
Pemerintah daerah menyediakan dana kompetitif untuk komunitas muda yang menyelenggarakan kegiatan PEMILU, pemantauan kebijakan, atau kampanye antikorupsi. Ini akan memperluas partisipasi dan dampak nyata. Membangun jalur kepemimpinan pemuda melalui lembaga independen atau organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada integritas, kebijakan berbasis bukti, dan kepemimpinan publik, tanpa harus masuk partai lebih dulu.

Selain langkah preventif dan alternatif, penting juga menghadirkan pendekatan kuratif untuk mengatasi kondisi pemuda yang sudah terlanjur apatis atau terjebak dalam disinformasi politik. Salah satunya adalah melalui program rehabilitasi literasi politik, yakni pelatihan ulang dan edukasi kritis bagi pemuda yang terpapar hoaks, ujaran kebencian, atau narasi ekstrem di media sosial. Program ini bisa dilakukan lewat kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil. 

Langkah lain adalah pemulihan kepercayaan pemuda terhadap institusi politik, yang dapat dilakukan melalui kampanye transparansi dan akuntabilitas publik secara terbuka. KPU, Bawaslu, dan partai politik bisa membuat platform evaluasi kinerja mereka yang melibatkan suara pemuda secara langsung. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya diajak memahami politik, tetapi juga diperlihatkan bahwa suara dan kritik mereka punya dampak nyata. 

Jika pemuda telah mengalami kekecewaan politik, maka dibutuhkan pendekatan yang tidak menggurui, melainkan partisipatif seperti forum rekonsiliasi publik antara pemuda dan perwakilan elite politik yang memungkinkan dialog dua arah. 

Solusi kuratif dalam konteks melek politik pemuda sangat penting karena menyasar akar dari apatisme dan keterasingan politik yang telah terbentuk. Banyak anak muda yang sudah telanjur kecewa, skeptis, atau bahkan sinis terhadap politik, baik karena pengalaman pribadi, paparan disinformasi, maupun dominasi narasi politik yang elitis. Maka, pendekatan kuratif tidak bisa hanya berbentuk edukasi satu arah, tetapi harus bersifat restoratif dan partisipatif. 

Misalnya, rehabilitasi literasi politik bagi pemuda yang telah terpapar hoaks atau ekstremisme digital merupakan langkah konkret untuk mengembalikan kepercayaan terhadap nilai-nilai demokrasi. Ketika generasi muda terjebak dalam ruang gema (echo chamber) media sosial, mereka kehilangan kesempatan untuk berpikir kritis. Program ini penting karena bisa mengubah konsumsi informasi pasif menjadi pemahaman aktif, melalui pelatihan berbasis kasus nyata, pembacaan kebijakan publik, dan evaluasi narasi politik.
Selanjutnya, pemulihan kepercayaan terhadap institusi politik menjadi kunci. Banyak pemuda melihat partai politik dan lembaga negara sebagai ruang tertutup yang tidak bisa diakses. Transparansi dan keterlibatan publik dalam evaluasi kinerja menjadi semacam "jembatan kepercayaan" yang bisa membuktikan bahwa politik bukan hanya urusan elite. Ketika KPU atau Bawaslu secara terbuka memfasilitasi masukan pemuda, maka politik tidak lagi tampak eksklusif. 

Terakhir, dialog rekonsiliasi antara pemuda dan elite politik sangat relevan dalam konteks demokrasi yang kerap diwarnai polarisasi. Bukan dengan ceramah atau kampanye satu arah, tetapi melalui forum yang memungkinkan pemuda menyampaikan kritik dan gagasannya secara langsung. Ini memberi ruang bagi penyembuhan sosial-politik yang lebih dalam dan membentuk pola interaksi baru yang lebih sehat antara generasi muda dan sistem politik. 

Secara keseluruhan, pendekatan kuratif adalah komplementer dan sangat strategis untuk mengatasi dampak dari gagalnya pendekatan pendidikan politik konvensional. Dengan fokus pada pemulihan, kurasi ulang narasi, dan rekoneksi politik secara setara, pemuda bisa kembali menjadi aktor aktif dan kritis dalam demokrasi, bukan hanya korban dari sistem yang gagal mendengarkan mereka. 

Dengan solusi-solusi tersebut, pemuda tidak hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan melalui suara mereka, tetapi benar-benar menjadi subjek politik yang berdaya. Demokrasi yang sehat membutuhkan warga negara yang melek politik dan dalam konteks Indonesia hari ini, harapan terbesar justru ada pada generasi muda (Syamsuddin Haris, 2014). Pemuda yang sadar hak dan tanggung jawab politiknya akan menolak politik uang, melawan hoaks, dan menuntut tranparansi. Mereka akan memilih bukan karena fanatisme, tetapi karena visi masa depan. Dalam tangan merekalah demokrasi Indonesia bisa tumbuh lebih matang dan bermartabat.

Sumber Data
Syamsuddin Haris, Demokrasi dan Representasi Politik di Indonesia: Kritis Pertai dalam perspektif Tata Kelola Pemerintahan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014.
Badan Pusat Statistik, Jumlah Pemilih Berdasarkan Usia, BPS, 2023.
Indikator Politik Indonesia, Survei Persepsi Politik Anak Muda, IPI, 2023.
Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)